Terjebak Kenangan
Ditengah metropolitan Kota Jakarta dimana setiap sudutnya, selalu menyimpan cerita rahasia yang menanti untuk diungkap. Terkadang kita terlalu dekat dengan cerita tersebut hingga tidak dapat melihatnya secara jelas.
------------
".... asholatu khairum minannaum ...." adzan subuh mulai berkumandang disetiap masjid besar bahkan mushola kecil dalam gang kelinci. Salah satu anak lelaki dalam gang kelinci itu, segera bangun dan mengambil peci dan sajadah yang bergantung dibalik pintu kamarnya. Solat subuh di mushola yang berjarak 20 meter dari rumahnya merupakan kebiasaan yang ditanamkan oleh kedua orang tuanya. Namun, kali ini ibunya sakit. Cukup lama, dan cukup membuat beliau kesulitan berjalan. Sehingga, subuh ini hanya dia dan ayahnya.
Dalam perjalanan menuju mushola, dia merasakan lingkungan rumahnya masih belum berubah. Baik saat dia masih kecil atau bahkan saat usianya kini 26 tahun.
Sembilan meter dari rumahnya, ada dua orang pria dan dua wanita tertidur di depan teras. Sepertinya, mereka kelelahan usai berjudi. Terlihat dari kartu, putung rokok, minuman keras, kopi dan beberapa lembar uang yang tergeletak disamping mereka dan sebagian tetap digengaman.
Lima meter kedepan setelahnya, ditemuinya persimpangan jalan gang kecil dan gelap. Dari persimpangan itu, dia selalu berpapasan dengan seorang wanita cantik dengan pakaian sangat minim. Tia namanya. Selepas sholat Isya' dilihatnya berangkat dan setelah Subuh selalu berpapasan dipersimpangan jalan menuju arah pulang.
Tiga meter selanjutnya, hampir dekat dengan masjid suara sound system dengan iringan lagu-lagu diputar cukup keras. Wanita dan pria berjoget megikuti irama dengan saling mengoda satu sama lain. Bahkan tak jarang sering salah satu diantara mereka tak sadarkan diri. Beberapa meter sisanya, dia mulai bertanya:
"ayah, kenapa kita tidak pindah rumah saja?", ucapnya dengan penuh kehati-hatian.
"terlalu banyak kenangan disini, ayah sulit untuk beradaptasi dilingkungan yang baru", ucapnya.
--------
"Selamat pagi, pak?", sapa seorang staf kepada Amir, Manager Bank ABC. Setelannya yang sederhana namun justru semakin memperlihatkan kewibawaan sosoknya. Tidak sedikit gadis atau bahkan ibu-ibu yang mengagguminya. Entah untuk kesenangannya atau akan diprospek untuk dijadikan suami untuk anaknya. Meskipun, Amir menjabat sebagai Manager. Dia berjiwa sosial tinggi. Hampir tidak pernah dia membeli makanan dan membaur dengan staf lainnya. Amir selalu memakan bekal yang dia bawa. Bahkan, walau terkadang bekal itu hanya nasi dan telor saja. Apa mungkin dia sedang berhemat? atau pelit? Tidak mungkin. Dia terhitung paling sering mentraktir stafnya dan saat digoda untuk sekali saja melewatkan untuk tidak makan bekal bawaannya dia menjawab;
"Meski terlihat sederhana, ibu ku yang menyiapkannya dengan penuh perjuangan dan cinta"
mendengar jawaban itu, membuat wanita semakin meleleh dibuatnya. Sangking dekatnya Amir dengan staf bahkan OB di kantor membuat terlihat tidak ada gap antara atasan dan bawahan. Bahkan, tidak jarang stafnya merasa nyaman dan tidak canggung jika harus bercerita atau bahkan bergosip dengan Amir.
"Hey-hey guys, kalian tau gak sih ibu-ibu pengemis di pinggir jalan Pattimura?", kalimat pembuka dari Shinta saat makan siang bersama dengan rekan dan Amir. Manajer mereka.
"yang gak bisa jalan itu?", sahut Mamad
"yang orangnya duduk diatas papan roda? pake topi dan selendang buat wadah uang itu?", tambah Nina
"nah, nah iya itu!", Shinta membenarkan
"kenapa memang?", tanya Amir
"Pak Amir juga tahu?", tanya Yusuf. Meskipun mereka berusia yang tak jaug beda, tetap saja karena jabatan Amir yang lebih tinggi akan membuatnya dipanggil dengan embel-embel "pak".
"Mmm, kurang yakin sih", jawab Amir
"kenapa emang, Shin?", tanya Dewi penasaran
"ya gapapa, aku kasihan aja sama dia. Tadi pagi aku penasaran dan coba buat turun dari mobil buat kasih beberapa uang. Pas aku lihat kondisinya. Aduuuuuh! gak tega bahkan aku hampir muntah didepannya", jelas Shinta
"kamu mau pamer kalo habis bersedekah gitu?", sahut Dewi
"hahahaha" diiringi gelak tawa rekan-rekan yang lain
"bukan, bukan gitu. Aku kasihan aja, setiap aku berangkat sepertinya banyak orang yang iba dan menyempatkan berhenti untuk ngasih ibu itu deh", jelas Shinta
"iya sih, aku juga sering lihat. Tapi anehnya, setiap menjelang Isya' ibunya udah gaada loh disitu", timpal Nina
"ya pulang lah, emang gak butuh istirahat dia? haha", sahut Yusuf dengan beberapa nasi yang masih berjejal dipipinya
"tapi gimana coba cara pulang dan berangkatnya? jadi penasaran rumahnya dimana!", tanya Shinta bingung
"dan juga kalau di pikir-pikir nih. Ibu itu pasti dapat uang lebih banyak deh dari gsjj kita hahaha", tambah Mamad dengan segala asumsinya
"kok bisa?", tanya Amir
"coba deh bayangin, banyak orang yang iba kan. Kayak Shinta nih misalnya. Kamu kasih berapa kemarin Shin?", tanya Mamad
"ah, dikit kok", jawab Shinta tersipu
"anjir! jangan sok imut deh, tinggal jawab juga", sahut Nina
"ya, cuma 200.000", jawabnya sedikit malu-malu
"weeeeeee! tumben lu gak pelit? fix ini mah ngajak cerita buat pamer", sahut Nina kembali
"ih, engaaaaaaa Naaaaaa!", elak Shinta
"ahahha, iya iya", tenang Nina
"oke, coba kita asumsikan tiap hari ibu itu dapat minimal 200.000 dan maksimal 500.000 coba kalikan 30 hari. Enam juta sampai lima belas juta yang didapatkan ibu itu dalam satu bulan men! wow! fantastic!", jelas Mamad
"wih, kalo beneran gitu enak juga ya", Yusuf menimpali
"kalian mau gak punya kaki? berdiam dipinggir jalan sambil mengharap belas kaihan dari orang-orang?", pertanyaan Amir mengintimidasi
"hehehe, ya engga sih pak", jawab Mamad sambil nyengir
"yaudah sana segera habiskan makan siangnya dan kembali kerja", jawab Amir menyudahi perghibahan siang itu.
"hahaha, siap Pak Bos!", jawab Dewi dengan tawa kecilnya yang riang.
------
Jam dinding semakin cepat berputar hingga tidak terasa jam pulang kerja telah tiba. Satu persatu karyawan mulai meninggalkan kantor. Dan seperti biasa, Amir yang pulang paling akhir. Dia memastikan kantor dalam keadaan bersih dan aman untuk dapat ditinggal dan dikunci oleh satpam. Amir berjalan menuju basement dengan menjinjing tas kecil yang berisikan beberapa dokumen-dokumen yang harus diselesaikan. Sesaat setelah melihat jam ditangan, dia segera menginjak gas untuk melaju pulang. Ditengah jalan, dia memarkirkan mobilnya disamping jalan dekat gang kecil. Amri mulai berjalan sambil menyingsingkan kerah dilengan tangannya. Gang itu sangat kecil dan gelap. Bahkan sepertinya tidak mungkin jika ada orang atau jalan dari arah lain dalam gang itu.
Tidak lama usai Amir memasuki gang itu, dia keluar dengan mengendong seseorang dibahu belakang yang bidang. Dengan segera dibawanya seorang itu kedalam mobilnya yang terparkir tidak jauh dari gang. Secara perlahan, dia menempatakan orang itu di kursi belakang mobilnya. Dan dengan segera sambil melihat kanan dan kiri, dia masuk mobil dan menjauh dari area sekitar gang itu.
Kali ini, dia berhenti lagi dipinggir jalan yang sepi dan gelap. Seaakan seperti sedang menunggu seseorang. Dilihatnya dari kaca spion, ada seorang lelaki paruh baya yang terburu menghampiri mobilnya. Amir dengan sigap meraih pintu mobil samping tempat duduknya agar dapat terbuka dengan tepat. Masuklah, lelaki paruh baya itu dengan helaan nafas panjang sesudahnya.
"alhamdulillah", ucap lelaki paruh baya itu
"ibu sehat bu?", tanya lelaki paruh baya tersebut sambil menoleh kebelakang
"alhamdulillah pak, tadi ada gadis cantik kasih ibu 200.000", ucap Ibu bahagia
"Ayah, Ibu sampai kapan seperti ini? Amir sudah jadi orang sukses sekarang! Ayah dan ibu tidak perlu melakukan hal seperti ini. Kita bisa memulai sesuatu yang baru!", ucap Amir
Sang ibu di bangku belakang terlihat hanya tertunduk terdiam. Dan sang ayah mulai menatap kedepan kosong sesaat sebelum pada akhirnya menjawab
"kau tahu nak, orang yang terbiasa makan dengan tangan kanan akan merasa sulit ketika makan dengan menggunakan tangan kiri. Begitulah posisi Ayah dan Ibu saat ini. Sulit untuk memulai adaptasi hidup yang baru meski kini kita sudah berkecukupan. Banyaknya kenangan saat Ayah dan Ibu melakukan ini, sampai bisa membuatmu menjadi orang yang sukses seperti saat ini. Kalaupun ada kerjaan lain, Ayah dan Ibu tidak punya keterampilan. Ya! seperti inilah yang memang kami mau", jawab ayahnya
"Ini sama saja dengan Ayah dan Ibu menipu banyak orang!", jawab Amir jengkel
"Jangan samakan! Ayah dan ibu tidak meminta! Kita hanya berdiam, mereka menghampiri dan memberi tanpa paksaan! Apa itu salah? Kita menjadi ladang amal untuk mereka!", jelas Ayahnya
"dan kalau Amir malu atau takut ketahuan teman-teman kantor. Ayah dan Ibu bisa pulang sendiri, nak!", jelas Ayah Amir dengan baju compang-camping sobek sana sini serta kotoran yang menempel diwajahnya.
"Sudah-sudah. Amir besok mau dibuatkan sarapan apa, nak?", tanya ibunya perlahan
Amir melihat kondisi ibunya dari kaca dan menghela nafas panjang sesudahnya.
Comments
Post a Comment