Memaksa

Jam dinding menunjukkan pukul 1 siang. Dinda kaget dan segera mengambil tas, memakai jaket, masker, helm dan kaca mata hitamnya untuk menaiki sepeda motor matic yang masih terparkir di teras rumah. Hari ini, Rama mengajaknya bertemu di sebuah cafe sekitar rumah Rama. Kekasih yang telah mengencaninya selama kurang lebih 3 tahun. Siang hari di hari minggu, tidak seperti biasa Rama meminta bertemu. Biasanya Rama yang menjemput dan mengantar Dinda ke manapun tempat mereka janjian.

Siang ini matahari begitu terik, membuat Dinda maju mundur untuk mengiyakan ajakan Rama. Membayangkan jarak dan terik matahari siang itu membuatnya ingin membatalkan saja. Padahal biasanya, Dinda langsung menolak jika diajak keluar di siang hari. Nyatanya kali ini berbeda. Dinda mengiyakan tanpa bernegosiasi. Di jalan Dinda menemui banyak orang saling salip, ngebut dan berlomba membunyikan klakson. Entah sebagai pertanda jika ingin mendahului atau hanya sebuah kode agar orang yang berada didepan bisa menambah laju kendaraannya.

Saat dalam setengah perjalanan, Dinda mulai melambat. Tatapannya kosong, entah apa yang sedang dia pikirkan namun bukankah itu hal yang wajar ketika mengemudi seorang diri. Jarak tempuh lokasi rumah Dinda dan tempat mereka bertemu memang lumayan jauh. Kurang lebih sekitar 25 km. Ketika kurang 10 menit lagi sampai, Dinda menepi untuk mengecek handphone didalam saku jaket.

“21 panggilan tidak terjawab”

“10 pesan baru”

Semua pesan dan telfon itu ternyata dari Rama. Secara tiba-tiba Rama membatalkan janji dengan alasan sakit. Dinda sedikit kesal. Dalam hatinya bertanya-tanya. Sungguhan sakit? Kenapa tiba-tiba? Ditengah-tengah kebimbangan, dengan refleks Dinda mengarahkan stir motonya ke arah rumah Rama. Kali ini, Dinda melakukan perjalanan yang biasa Rama tempuh untuk sekedar menjemput dan mengantarnya. Sepanjang jalan Dinda berfikir sepertinya Rama memang yang terbaik. Dia rela melakukan apapun untuknya. Ditengah perjalanan, Dinda melihat ada toko serabi kesukaan Rama yang biasa Rama bawakan saat Dinda sedang sakit. Sambil menunggu serabi dibuatkan, Dinda mengecek sekali lagi ponselnya.

“5 panggilan tidak terjawab”

Dinda segera menelfon balik namun tidak ada respon. 

“5 pesan baru”

Ah, Dinda terlalu terburu sehingga lupa untuk membaca pesan.

“Kok Cuma dibaca? Maafin aku

“Pasti kamu udah di tempat kan?”

“Aku gak tahu kenapa tiba-tiba perut ku sakit sekali”

“Kamu balik pulang aja ya, gak usah ke sini. Jauh”

“Plis jangan marah. Setelah sembuh aku langsung kerumah mu. Hati-hati dijalan”

Dinda segera membalas.

“Dinda gak marah sama sekali. Ini Dinda udah dekat dari rumah mas”

Sesaat Dinda kembali melamun.

“Permisi Kak, serabinya sudah jadi”, suara mas-mas pembuat serabi yang genit menggoda Dinda dari awal Ia datang. 

Saat dijalan Dinda masih berputar-putar untuk mencari jajanan lainnya roti, buah, vitamin dan susu. Dia bingung apa yang harusnya diberikan karena selama 3 tahun mereka berpacaran, selalu Rama yang memperhatikan kesehatan Dinda sedangkan ketika Rama sakit, Dinda selalu sibuk dengan kerjaan di kantor. Alih-alih menjenguk, Dinda hanya menyuruh Rama beristirahat dan mengomel karena tidak bisa menjaga kesehatan.

“Permisi”, sapa Dinda di depan gerbang rumah Rama. Pintu rumah itu terbuka dan terlihat Azka berlarian di dalam rumah. Sekali lagi, Dinda mencoba menyapa.

“Permisi”, kali ini Azka hanya berdiri didepan pintu sambil melihat kearah Dinda. Bocah laki-laki berusia 5 tahun itu merupakan adik Rama. Ya, Rama 3 bersaudara. Kak Ririn, Rama dan Azka.

“Halloooo” Dinda melambaikan tangan ke arah Azka yang sedari tadi menatapnya dari depan pintu. Seketika Azka tersenyum dengan gigi depan yang hampir terkikis habis karena sering makan makanan manis. Sesaat setelah tersipu dia kembali berlari sambil menarik baju ibunya untuk memberikan isyarat bahwa ada tamu di depan gerbang.

“Haduh, apa sih Ka! Tarik-tarik ya ampun anak ini!, Eh loh, Nak Dinda. Sudah lama di situ?” sapa wanita paruh baya yang tak lain adalah Ibu Rama.

“Baru kok, bu”

“Ayok, sini-sini masuk”

Dinda sedikit gugup meski telah berpacaran selama 3 tahun, Dinda hanya pernah 5x datang bertamu ke rumah Rama. Dinda menuntun motor ke dalam, mengambil barang-barang dari cantolan depan motor maticnya. Belum sempat melangkah, Azka dengan sigap menarik kantong plastik yang di bawa Dinda. Raut muka semringah Azka terlihat jelas khas anak kecil, seakan dia tahu bahwa kantong itu berisi sesuatu yang dia inginkan.

“Heee, Azka Ya Allah nakalnya anak ini. Gaboleh gitu!”, ucap kakak perempuan Rama yang keluar menyambut Dinda.

“Gak papa Kak Rin. Ini ada jajanan buat Azka juga kok”, jawab Dinda sambil mencium tangan kakak tertua di keluarga itu.

“Loh bu, Dinda bawa-bawa ini lo”, teriak kakak Rama kepada ibunya yang sedang membuatkan minuman untuk Dinda.

“Loalah, ya ampun nak. Gausah repot-repot gini”

“Engga bu, saya juga jarang-jarang main kesini”

“Oh iya, Ibu panggilin Rama dulu ya”

“Ehm, kalau tidur biarin istirahat aja gapapa”

“Oh iya udah, gapapa ya? Ibu juga gak tega banguninnya”

“Ibu sama Kak Ririn rapi sekali mau ke mana?” tanya Dinda sambil menyuapi Azka serabi berisi mesis coklat.

“Ini loh, mau ada acara keluarga besar di daerah Diponegoro. Tadinya Rama mau ibu ajak juga, tapi katanya mau nyusul sama Nak Dinda. Eh, sekarang malah sakit gitu”

“He! Kaaa, yaampun ngalem-e rek arek iki (manja nya anak ini)” tegur Kak Ririn

“Santai Kak Rin, gak papa. Dinda malah senang Azka masih ingat Dinda. Daripada saat pertama ketemu dulu, nangis-nangis ketakutan sama Dinda hehehe”

"Ya ampun, iya ya. Masih ingat aja Din. Makanya, sering-sering main kesini dong", sahut Kak Ririn.

"Hehehe, pengennya juga gitu kak"

“mau mimik (minum)”, rengek Azka sambil cengar-cengir dan menarik-narik baju Dinda.

“He, ya ampun sini sama Kak Rin. Genit banget ni bocah”, sahut Kak Ririn sambil ancang-ancang hendak mengendong Azka yang duduk manis di samping Dinda.

“Gamauuuuuuu”, teriaknya sambil memeluk erat lengan kiri Dinda. Dinda yang gemas, langsung memangku Azka yang memang sedari tadi mencoba mencari perhatian Dinda, saat berbincang dengan Ibu Rama.

“Oh, iya Nak Dinda, ini ibu, Ririn sama Azka mau berangkat. Nitip Rama ya. Nanti kalau bangun minta tolong suruh minum obat di meja. Rama tidur di kamar depan. Ibu tinggal dulu ya nak”, ucap Ibu Rama sembari mengambil Azka dari pangkuan Dinda.

“Iya bu. Mmm bu, Dinda mau bilang terima kasih sama mau minta maaf sama Ibu dan Kak Ririn juga. Kalau-kalau Dinda sering merepotkan”, ucap Dinda sambil menundukkan kepala.

“Iya nak sama-sama”, balas Ibu Rama sekenanya

“Yaudah, berangkat dulu ya Diin” sahut Kak Ririn

“A, em” belum sempat Dinda menjelaskan arti dari permintaan maaf tapi mereka sudah bergegas untuk berangkat.

Kali ini Dinda hanya terdiam di ruang tamu sendiri, sesekali melihat kamar Rama. Setelah menunggu kurang lebih 2 jam di ruang tamu. Dinda rasanya ingin menyerah dan pulang saja. Tapi, perasaan tidak enak meninggalkan Rama sendirian kala itu lebih besar. Akhirnya, Dinda memutuskan untuk membuka perlahan pintu kamar Rama. Selama 3 tahun berpacaran, Dinda belum pernah sekalipun masuk ke dalam kamar Rama. Maklum, karena mereka selalu bertemu diluat atau Rama yang berkunjung ke rumah Dinda.

Dinda sangat terkejut, banyak sekali foto-foto mereka berdua yang terpajang di atas meja belajar Rama. Mulai dari foto saat penerimaan mahasiswa baru (pemaba), awal mereka bertemu. Kencan pertama di alun-alun kota yang berakhir dengan di kejar orang gila, karena tidak sengaja memunggut plastik berisi bonekanya yang di kira sampah. Foto saat mereka berlibur ke Jogja bersama dengan muka Dinda yang masam, hampir disetiap foto karena Rama lupa mengingatkan Dinda untuk membawa catokan rambut. Fotobox pertama mereka saat baru jadian, terlihat sangat kaku di tambah dengan background polos bewarna merah. Cocok seperti foto KTP jika di crop dari masing-masing sisinya. 

Tidak hanya foto, ternyata Rama juga menyimpan barang-barang kenangan yang bahkan tidak pernah terfikirkan untuk di simpan. Tiket nonton saat awal mereka PDKT. Dinda salah memesan tiket, sehingga mereka melihat film dengan jarak duduk yang berjauhan. Dari ujung ke ujung. Tiket nonton konser dengan penyanyi yang Rama tidak sukai, akhirnya dia hanya mematung dan menjadi bodyguard Dinda yang asik menikmati konser. Celana Rama yang sobek hampir se-paha karena dikejar Hecul. Anjing jenis Rottweiler kesayangan Ayah Dinda. Bagaimana anjing itu tidak bereaksi, ketika melihat Rama masuk ke rumah Dinda dengan mengendap-endap, hanya untuk merayakan ulang tahun ke 26. Dinda tersenyum namun matanya berkaca-kaca untuk sesaat. Sungguh ekspresi yang tidak dapat dimengerti apa yang sedang dia rasakan.

Dinda membalikkan badan dan menghela nafas yang cukup panjang. Dihadapannya sedang terbaring kekasihnya, Rama dengan muka pucat. Dipandangi wajah lelaki yang mencintainya dengan penuh kasih selama 3 tahun dengan penuh arti yang tidak terdefinisi. Melihat Rama berkeringat semakin banyak. Dinda berinisiatif membuka kancing kemeja yang dipakai Rama. Satu persatu kancing kemeja itu lepas dengan perahan. Dibukakan pula kaos kaki dan ikat pinggang yang terlihat menyesakkan perut. Dinda bingung apa yang harus dilakukan. Membangunkan adalah sesuatu hal yang tidak sampai hati untuk dilakukan. Dinda hanya duduk di samping Rama yang sedang tertidur pulas. Sesaat kemudian, Rama membuka mata perlahan dan melihat Dinda duduk disampingnya. Rama mulai mengiggau.

“Ah, bisa-bisanya saat sakit seperti ini, aku malah memimpikannya”, ucap Rama sambil terbata.

Rama secara tiba-tiba membenarkan posisi kepalanya mengarah di atas pangkuan Dinda seraya berkata,

“ah mimpi ini seperti nyata, aku mau tidur sedikit lebih lama”, dan kembali tertidur dengan dengkuran yang sangat keras. 

Dinda yang berusaha untuk tetap terjaga, berkali-kali menggeleng-gelengkan kepalanya dan membelalakkan mata. Berharap rasa kantuk itu hanya mampir saja. Namun ternyata, Dinda ikut tertidur dengan posisi kepala Rama yang masih dipangkuan.

Jam dinding menunjukkan pukul 17.00. Rama merasa lebih baik dan terbangun lebih dulu dari Dinda. Sontak Rama kaget bahwa ternyata Dinda benar-benar ada disampingnya. Bukan mimpi.

Jantung Rama berdegup kencang. Wanita yang dia cintai ada dikamarnya. Rama segera keluar dari kamar. Sesaat kemudian kembali lagi ke kamar, dia membenarkan posisi tidur Dinda agar lebih nyaman. Dipandanginya wanita yang sangat dia cintai itu. Tangannya ingin menyentuh Dinda, namun dia urungkan karena takut membangunkannya. Dia berusaha semaksimal mungkin untuk menahan diri. Rama kembali keluar kamar untuk memastikan ada siapa di rumah. Ternyata sepi. Hanya ada mereka berdua. Pikiran Rama semakin tidak terkendali, kali ini dia pergi ke kamar mandi.

Di kamar mandi dia kembali gugup, bingung apa yang harus dilakukan. Mandi atau tidak. Setelah dalam kebimbangan cukup sengit antara dirinya sendiri. Rama memutuskan untuk membasuh muka dan menggosok gigi saja, agar tetap harum saat didekat wanita yang ia cintai. Hari ini harus menjadi hari yang spesial. Angan-angan Rama semakin liar, pikirannya berjalan-jalan jauh tidak terkendali. Berkali-kali dia lihat wajahnya di kaca, untuk memastikan tidak ada belek ataupun kotoran diwajahnya. Dibuka mulut untuk kemudian dia hempaskan nafas melalui kerongkongan untuk memastikan nafasnya segar. Ketika semua dirasa sudah sempurna, dia memukul-mukul dadanya dan berkata “be a gentleman, Rama!”.

Semakin dia memikirkannya, jantungnya semakin berdetak cepat. Perlahan namun pasti dia kembali ke kamar. Mengambil sesuatu di laci meja belajarnya. Dia bingung haruskah barang itu di buka dan di genggam saja atau di buka kemudian dimasukkan saku celananya saja. Keringatnya mulai membasahi dahi dan punggung. Digaruknya kepala itu berulang kali padahal tidak terasa gatal. Sekali lagi, dia tepuk dadanya seraya meyakinkan diri bahwa kali ini dia pasti bisa melakukanya.

Segera dibukanya barang itu dan dia gengam di tangan kanannya dengan sangat erat. Sekali lagi dia melihat kaca dan mencoba tersenyum agar terlihat lebih rileks. Jauh dalam lubuk hatinya dia berjanji akan membuat hari ini menjadi hari yang tidak terlupakan diantara mereka. Ini kesempatan langkah dan harus dimanfaatkan dengan baik. Penantian selama 3 tahun baginya sudah cukup dan kini saat yang tepat. Rama tahu jika Dinda juga menginginkan hal ini terjadi, namun keadaan tidak pernah memberikan ruang untuk Rama melakukan aksinya.

Rama melihat Dinda masih tertidur. Rama mengambil posisi terbaik dengan duduk di samping Dinda. Tangannya dia letakkan diatas lututnya kemudian dia gerak-gerakkan untuk menghilangkan rasa gugup yang bersarang. Sesaat setelah gerakan itu terhenti, dia mulai meluncurkan aksinya dengan mengusap kepala Dinda. Menyibakkan rambut yang menutupi paras cantik Dinda yang masih tertidur. Sesaat Dinda terbangun,

“ah, mas sudah bangun”, tegurnya dengan nada serak.

Rama hanya tersenyum kaku, lidahnya peluh walau hanya sekedar untuk menjawab.

“Mas sudah sehat?”, tanya Dinda. Sontan Rama terhentak kaget saat Dinda bertanya sambil menyentuh leher dan perut Rama walau hanya untuk memeriksa kondisi badan Rama.

“Sehat, sehat, aku sudah sehat!”, ucap Rama terbata

“mmm, Din?”, panggil Rama dengan bibir yang sedikit bergetar

“iya?”, jawab Dinda sembari menatap Rama

“kamu mau gak.....”,

“mas sebentar, Dinda mau bilang sesuatu”, seketika Dinda memotong pembicaraan

“apa?”

“mas, Dinda minta putus”

Rama membeku, pupil matanya membesar, tatapannya seketika kosong seolah tak percaya. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya.

“Maaf, mas. Dinda terpaksa. Dinda sudah memikirkan ini matang-matang. Bukankah kita juga sudah sedikit renggang selama setahun ini. Sepertinya saat ini adalah waktu yang tepat. Jika hubungan ini dipaksakan banyak pihak yang akan terluka. Menikahpun rasanya tidak mungkin terjadi untuk kita. Mas juga tidak mungkin pindah agama hanya untuk Dinda. Begitu juga Ayah Dinda yang menentang Dinda untuk mengikuti agama mas. Sekalipun kita menikah di luar negeri, itu akan membutuhkan waktu yang lama bagi kita menabung. Dinda, sudah 30 tahun. Sudah cukup tua untuk katagori wanita lajang mas. Mau berapa lama lagi kita harus berusaha? Mas, maafkan Dinda. Jauh dilubuk hati Dinda berat mengatakannya. Tapi jika dilanjutkan ini semua hanya membuang waktu. Kurang sebulan lagi kita genap 4 tahun. Dinda tidak pernah menyesali semua momen bersama mas. Semoga mas sehat selalu dan dapat penganti yang jauh lebih baik dari Dinda”.

Dinda mengatakannya bukan tanpa alasan. Dia sudah bisa menduga apa yang akan dilakukan Rama. Karena Dinda sempat melihat bukti pembelian barang itu, tergeletak di meja belajar Rama. Selain itu, kegugupan Rama masuk keluar kamar terbaca oleh Dinda. Selama setahun terakhir, Ayah Dinda selalu memberi peringatan agar mereka segera mengakhiri hubungan. Dinda selalu mengulur waktu dan tidak pernah menemukan saat yang tepat. Namun, melihat Rama yang begitu mengebu, dia takut. Takut jika Rama semakin berharap.

Sebisa mungin Dinda menahan, meski air mata menetes berkali-kali saat mencoba berlalu meninggalkan Rama. Tanpa menunggu Rama membalas ucapannya, Dinda langsung keluar meninggalkan Rama yang masih mematung. Suara motor Dinda memecahkan lamunan Rama. Seolah tak percaya, Rama mulai berusaha mengejar Dinda, namun terlambat. Seakan semua otot dan syaraf di tubuhnya tidak berfungsi. Tatapan kosong dan tubuh yang terhuyung dia paksakan untuk berjalan kembali ke rumah. Rama terduduk lemas. Tangannya yang sedari tadi mengenggam barang itu kini terasa gengamannya semakin erat, seakan semua emosi tertumpu di sana. Muka nya memerah, sakan mau meledak. Dan ya! Dia berteriak "AAAAARGH!!!!!!" dihempaskan pula benda itu ke lantai hingga berbunyi dan menggelinding tidak terarah. Mulutnya tidak bisa berkata apa-apa. Hanya air mata yang terus mengalir sesaat setelah teriakan amarah yang tidak tahu ditunjukkan pada siapa.

Selama ini, Rama berusaha menabung, untuk dapat membelikan Dinda cicin dan mempersiapkan pernikahan di luar negeri seperti impian mereka saat masih bersama. Kini, cincin itu terbuang begitu saja. Bahkan, acara keluarga yang dia rencanakan untuk mengenalkan Dinda ikut batal. Semua angannya kini hilang. Yang paling menyedihkan, ketika dia begitu optimis seakan bisa melakukannya. Ternyata dia hanya berjuang sendiri. Hati Rama begitu sesak walau hanya sekedar bernafas seperti biasa. Hatinya remuk ketika hanya bisa melihat Dinda berlalu tanpa sempat mencegah dan mengucapkan sepatah dua patah yang dapat mewakili protesnya atas keputusan mutlak yang di ambil Dinda.

Comments

  1. Kirain rama bakal melakukan hal yang tidak-tidak di kamar hehe abisnya segala mau mandi dulu bikin nethink aja si rama.
    Ceritanya menarik tapi pengen tau lebih dalam sama alasan Dinda. Soalnya kayanya dinda udah yakin banget sama keputusannya dan ga keliatan ragu waktu nyampeinnya.
    Keep up the good work min!

    ReplyDelete
  2. Ramaa sama aku ajaaaa ih

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Di Luar Kendali

Terjebak Kenangan